Sepertinya sulit bagi beberapa orang untuk mempercayai kisah antara saya dan Ibunda tercinta saya, tapi memang seperti inilah yang terjadi. Tanpa sepengetahuan saya, tanpa saya mengerti, Ibunda saya yang sangat saya sayangi, ternyata sering berbohong kepada saya. Ya…. Ibu saya Seorang Pembohong!!!
Selama hidup saya, seingat saya sekurang-kurangnya 8 kali Ibu membohongi saya. Berikut ini beberapa kebohongan yang pernah Ibu lakukan kepada saya.
Kisah ini dimulai ketika saya masih kecil. Saya lahir sebagai seorang anak lelaki dalam sebuah keluarga sederhana. Makan dan minum serba kekurangan.
1. Kebohongan Ibu yang Pertama.
Kami sering kelaparan. Adakalanya, selama beberapa hari kami terpaksa mengenyangkan perut kami dengan sedikit nasi yang harus dibagi ke semua anggota keluarga, dengan lauk seadanya kami makan dengan penuh rasa bersyukur, karena kami masih lebih beruntung dibandingkan dengan beberapa orang yang tidak bisa makan setiap hari. Malam itu, sepiring nasi yang sudah dimasak ibu kami habiskan dengan beberapa ikan asin yang terasa begitu lezat bagi kami. Sebagai anak yang masih kecil, saya sering merengut. Saya menangis, ingin makan nasi yang banyak dan lauk yang banyak. Melihat saya yang sedang menangis, Ibu kemudian membagikan nasinya untuk saya. Sambil memindahkan nasi ke
piring saya, ibu berkata : "Makanlah nak Ibu tak lapar."
2. Kebohongan Ibu yang Kedua.
Ketika saya mulai besar, ibu yang senang bekerja keras setiap hari, sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di sungai sebelah rumah. Ibu berharap dari penjualan ikan hasil pancingan itu dapat memberikan sedikit makanan untuk membesarkan kami. Pulang dari memancing, ibu memasak ikan segar yang mengundang selera. Sewaktu saya memakan ikan itu, Ibu duduk disamping kami dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang bekas sisa ikan yang saya makan tadi.
Saya sedih melihat Ibu seperti itu. Hati saya tersentuh lalu memberikan ikan yang belum saya makan kepada ibu. Tetapi dengan cepat Ibu menolaknya. Ibu berkata : "Makanlah nak, ibu tak suka makan ikan."
3. Kebohongan Ibu yang Ketiga.
Di awal remaja, saya masuk sekolah menengah. Ibu biasa membuat kue-kue kecil dan jajanan untuk dijual sebagai tambahan uang saku saya dan kakak. Suatu ketika, kurang lebih jam 2 dinihari, saya terbangun dari tidur karena mendengar suara berisik di dapur. Karena penasaran, saya pergi ke dapur, saya melihat Ibu sedang membuat kue dengan ditemani lilin di hadapannya. Beberapa kali saya melihat kepala Ibu terangguk karena mengantuk. Saya berkata : "Ibu, tidurlah, esok pagi Ibu kan harus pergi ke kebun juga." Ibu tersenyum dan berkata : "Cepatlah tidur nak, Ibu belum mengantuk."
4. Kebohongan Ibu yang Keempat.
Di masa-masa akhir ujian sekolah saya, Ibu tidak pergi berjualan kue seperti biasa supaya dapat menemani saya pergi ke sekolah dan memberi semangat untuk saya. Ketika hari sudah siang, terik panas matahari mulai terasa menyengat, Ibu masih terus sabar menunggu saya di luar. Ibu seringkali saja tersenyum dan mulutnya komat-kamit berdoa kepada Illahi agar saya bisa mengerjakan ujian dengan baik dan lulus ujian dengan nilai yang memuaskan. Ketika lonceng berbunyi menandakan ujian telah selesai, Ibu dengan segera menyambut saya dan menuangkan susu yang sudah disiapkan dalam botol yang dibawanya. Susu yang kental itu tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang Ibu yang jauh lebih kental. Melihat tubuh Ibu yang dibasahi peluh, saya segera memberikan gelas berisi susu itadi kepada ibu dan menyuruhnya minum. Tapi Ibu cepat-cepat menolaknya dan berkata : "Minumlah nak, Ibu tidak haus!!"
5. Kebohongan Ibu yang Kelima.
Ayah meninggal karena sakit hanya beberapa bulan setelah saya lahir, ibulah yang mengambil tugas sebagai ayah di keluarga kami. Ibu bekerja memetik cengkeh di kebun, membuat sapu lidi, dan menjual kue-kue agar kami tidak kelaparan. Tapi apalah daya seorang Ibu. Kehidupan keluarga kami semakin susah dan susah.
Melihat keadaan keluarga yang semakin parah, seorang tetangga yang baik hati dan tinggal bersebelahan dengan kami, datang untuk membantu ibu. Anehnya, ibu menolak bantuan itu... Para tetangga sering kali menasihati Ibu supaya menikah lagi agar ada seorang lelaki yang menjaga dan mencarikan nafkah untuk kami sekeluarga.. Tetapi Ibu tetap keras kepala, Ibu tetap memilih hanya Ayah satu-satunya lelaki yang pantas menjadi suami Ibu. Ibu berkata : "Saya tidak perlu cinta dan saya tidak perlu laki-laki."
6. Kebohongan Ibu yang Keenam.
Setelah kakak lulus sekolah dan mulai bekerja, Ibu pun sudah tua. Kakak menyuruh Ibu supaya istirahat saja di rumah, tidak lagi bersusah payah untuk mencari uang. Tetapi ibu tidak mau. Ibu rela pergi ke pasar setiap pagi menjual sedikit sayur untuk memenuhi keperluan hidupnya. Kakak yang bekerja jauh di kota besar sering mengirimkan uang untuk membantu memenuhi keperluan Ibu, tetapi Ibu tetap berkeras tidak mau menerima uang tersebut. Ibu malah mengirim kembali uang itu ke kakak, dan Ibu berkata : "Jangan susah-susah, Ibu masih punya uang."
7. Kebohongan Ibu yang ketujuh.
Setelah lulus kuliah, saya melanjutkan kuliah lagi untuk mengejar gelar sarjana di luar negeri. Kebutuhan saya di luar negeri dibiayai sepenuhnya oleh sebuah perusahaan besar. Gelar sarjana itu saya selesaikan dengan hasil yang memuaskan, kemudian saya pun bekerja di perusahaan yang telah membiayai sekolah saya di luar negeri. Dengan gaji yang boleh dibilang lumayan, saya berniat membawa ibu untuk menikmati penghujung hidupnya bersama saya di luar negeri. Ibu sudah lama bersusah payah bekerja untuk kami. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan dengan penderitaan, pantaslah kalau hari-hari tuanya Ibu dihabiskan dengan keceriaan dan keindahan Tetapi Ibu yang baik hati, menolak ajakan saya. Ibu tidak mau menyusahkan anaknya. Ibu berkata: "Tak usahlah nak, Ibu tak bisa tinggal di negeri orang."
8. Kebohongan Ibu yang kedelapan.
Beberapa tahun berlalu, Ibu semakin tua. Suatu malam saya menerima telepon bahwa ibu diserang penyakit kanker, yang akarnya telah menjalar kemana-mana. Ibu harus segera dioperasi secepat mungkin. Saya yang ketika itu berada jauh diseberang samudera segera pulang untuk menjenguk Ibunda tercinta. Saya melihat Ibu terbaring lemah di rumah sakit, setelah menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap wajah saya dengan penuh kerinduan. Ibu menghadiahkan saya sebuah senyuman biarpun agak kaku karena terpaksa menahan sakit yang menjalari setiap bagian tubuhnya. Saya dapat melihat dengan jelas betapa kejamnya penyakit itu telah menggerogoti tubuh Ibu, sehingga Ibu menjadi terlalu lemah dan kurus. Saya menatap wajah Ibu sambil berlinangan air mata. Saya cium tangan Ibu kemudian saya kecup pula pipi dan dahinya. Di saat itu hati saya terlalu pedih, sakit sekali melihat Ibu dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu tetap tersenyum dan berkata : "Jangan menangis nak, Ibu tak sakit."
Setelah mengucapkan pembohongan yang kedelapan itu, Ibunda tercinta menutup matanya untuk terakhir kali. Dibalik kebohongannya, tersimpan cintanya yang begitu besar bagi anak-anaknya.
Anda beruntung karena masih mempunyai orangtua...
Anda boleh memeluk dan menciumnya. Kalau orangtua Anda jauh dari tempat Anda sekarang, Anda boleh menghubunginya sekarang, dan berkata, “Ibu, saya sangat menyayangi Ibu”, “Ayah, saya sangat menyayangi Ayah.”
Tapi hal tersebut tidak saya lakukan di waktu dulu, hingga kini saya dihantui rasa bersalah yang amat sangat karena meskipun saya sangat menyayangi Ibu lebih dari segalanya, tapi tidak pernah sekalipun saya membisikkan kata-kata itu ke telinga Ibu, sampai ketika Ibu menghembuskan nafasnya yang terakhir, saya belum sempat mengucapkannya.
Ibu, maafkan saya. Saya sangat menyayangi Ibu.......